Memaknai 8 Tahun Provinsi Banten

Bagaimana kita harus memaknai perjalanan 8 tahun Provinsi Banten? Rasa-rasanya bagi kebanyakan orang perayaan suka cita, parade keberhasilan pembangunan, tidaklah bijak, ditengah masih banyaknya masyarakat yang dirundung persoalan hidup.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengangguran terbuka di Banten tahun 2008, mencapai 601.800. Sementara tingkat kemiskinan walau mengalami penurunan dari 886.200 (9,07%) pada tahun 2007, menjadi 816 .700 (8,15%) menurut survey tahun 2008, tapi angkanya masih tinggi.

Melihat angka pengangguran dan kemiskinan sebagai dua contoh persoalan mestinya Banten tengah ‘berkabung’, sayang sejumlah pejabat baik eksekutif maupun yudikatif malah terjebak korupsi. Belum bila bicara masalah kebijakan, yang diantaranya lebih berpihak pada kepentingan pejabat, buktinya pembelian mobil dinas yang tergolong wah, beberapa waktu ke belakang.

Padahal, ketika Banten diperjuangkan berpisah dengan Jawa Barat, mempunyai cita-cita, diantaranya lebih mencerdaskan dan memakmurkan masyarakatnya, dibalut romantisme sejarah mengembalikan kejayaan Banten, seperti jaman Sultan Abdulfatah, raja Banten yang termasyhur itu. Singkatnya, kemakmuran itu, bukan untuk segelintir orang.

Perjuangan pembentukan Provinsi Banten adalah proses panjang, berliku dan terjal, bukan sekedar luapan pasca revormasi, tapi sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Perjuangan itu mustahil terwujud, tanpa semangat yang terus dipelihara dari generasi ke generasi dan mustahil terlaksana bila tujuan pembentukan itu hanya milik pemimpin, tanpa keterlibatan bersama masyarakat.

Keterlibatan

Keterlibatan pemimpin dan masyarakat puncaknya tak terbendung 8 tahun silam, hampir setiap kali aksi menuntut pembentukan Banten, diikuti masa aksi yang tak terhitung, saking banyaknya. Mereka datang dari pelosok-pelosok Banten.

Mahasiswa sementara meninggalkan kuliahnya, petani meninggalkan kebunnya, pengusaha meninggalkan usahanya, mereka terlihat siap melakukan apa saja, termasuk berkorban nyawa dan harta sekalipun.

Semestinya, semakin lama semangat itu semakin menggedur, karena sekarang kita sudah bisa mengatur sendiri, dan tidak ada lagi kelompok yang ‘menghalangi-halangi’ seperti pada jaman perjuangan pembentukan Provinsi, tapi nyatanya seiring dengan perkembangan waktu, perlahan-lahan kepentingan individu dan kelompok bermain, melemahkan semangat mewujudkan cita-cita Provinsi Banten yang masih terentang sangat panjang.

Pemilihan kepala daerah seperti ajang perebutan kekuasaan kelompok-kelompok tertentu sementara suara rakyat hanya sebuah permainan, korupsi semakin merambah kemana-mana. Solidaritas memudar, persaudaran menguap. Sementara, peran pemerintah yang seharusnya memfasilitasi kepentingan masyarakatnya pun memudar. Wujud dan peran pemerintah pun semakin dipertanyakan. Ketidakpercayan pun menyebar, salah satu indikatornya tingkat golongan putih atau biasa disebut golput dalam pemilihan Bupati atau walikota semakin meningkat.

Ditengah kondisi itu, baiknya kita memaknai 8 tahun Banten sebagai ajang ziarah, belajar bagaimana pemimpin Banten dan masyarakat terus mengobarkan semangat, untuk mewujudkan provinsi Banten, walaupun harus masuk penjara sekalipun.

Moch Sanusi, Rachmatullah Sidik, dan Tb Kaking, sekitar tahun 1967, harus masuk tahanan, karena memperjuangan pembentukan Provinsi Banten. Padahal, ketika provinsi Banten terbentuk, mereka tidak sempat menikmatinya karena keburu dipanggil meninggalkan kita.

Para pemimpin sekarang memang banyak yang masuk penjara, tapi bukan karena memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, tapi karena terjerat kasus korupsi dari mulai dana perumahan DPRD Banten priode 2001-2003, Pembebasan Lahan KP3B, Kasus Suap Bank Jabar di Pandeglang, sampai Pembangunan Rumah Sakit Umum (RSU) Balaraja.

Masih Ada

Spirit mewujudkan Banten yang lebih baik, sebenarnya masih tersisa dan bisa ditemukan di sejumlah tempat, tinggal bagaimana seorang pemimpin mau mengenali dan menyatukannya, untuk mengalahkan semangat kepentingan individu dan kelompok.

Semangat itu, sekedar menunjukan masih tercermin pada kelompok mahasiswa dan masyarakat yang berbaur menggelar aksi demonstrasi menuntut pemberantasan korupsi dan kolusi yang terjadi, seperti yang terlihat di Pandeglang dan para mahasiswa yang rajin melakukan aksi, ke Kantor Kejati Banten, dan lain-lain.

Walau tidak menutup kemungkinan, sejumlah kelompok mahasiswa dan masyarakat pengunjuk rasa, ada juga yang kecenderungannya membela kepentingan dan tujuan kelompok tertentu. Kita juga mungkin sudah tahu itu.

Semangat mewujudkan cita-cita Banten, itu juga tampak pada kelompok masyarakat yang melakukan pemberdayaan tanpa atau dengan bantuan pemerintah sekalipun, coba bermain ke Komunitas Rumah Dunia, Ciloang-Serang, di sana ada program mencerdaskan anak-anak kampung sekitar, lewat program literasi.

Di sejumlah mesjid, terutama di Tangerang, banyak berdiri pengobatan gratis, dokter-dokter datang tanpa bayaran. Ditengah banyaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dikeluhkan disiplin kerjanya, tentu masih ada PNS-PNS yang menunjukan dedikasinya.

Bagaimana spirit itu menjadi gerakan massa rakyat yang massif, sebenarnya tugas pemimpin untuk bisa melakukannya. Pemimpin yang bisa memahami masih ada kekuatan menjadikan Banten lebih baik, adalah pemimpin yang bisa mengenal rakyatnya, bisa hidup bersama rakyatnya, merasakan penderitaan rakyatnya dan berjuang bersama rakyatnya.

Seharusnya, pemimpin yang ada sekarang lebih peka, terhadap kepentingan masyarakat Banten, saatnya lebih menyadari bahwa jabatan yang sekarang diemban adalah amanah yang mesti dipertanggungjawabkan, saatnya menyatukan semangat perubahan yang tersisa.

Bila pemimpin, merasa tidak penting menyatukan semangat perubahan yang ada, tidak ada kata lain selain membangun kesadaran bersama, menggugatnya lalu memilih pemimpin baru.

Pemilihan Kepala Daerah seperti di Kabupaten Lebak, Kota Tangerang, kemudian menyusul Kota Cilegon dan Kabupaten Pandeglang, ditambah akan digelarnya pemilu untuk memilih calon anggota eksekutif tahun 2009. Bisa dijadikan momentum.

Marilah memilih pemimpin yang mau mendengarkan, menyerap, dan memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Memilih pemimpin yang bisa diandalkan mengatasi persoalan yang terjadi.

Bukan pemimpin yang hanya bermodalkan uang dan keturunan, tapi tidak mempunyai kapasitas jadi pemimpin. Bukan pula pemimpin yang tiba-tiba datang, karena Banten tidak sedang menunggu Ratu Adil, tapi pemimpin yang hidup dan mengerti persolan masyarakatnya. Tolak money politik, stop memilih politisi busuk.

Begitulah. Semangat perubahan untuk Banten yang lebih baik, harus terus digelorakan bersama pemimpin (eksekutif, legislatif maupun pemimpin informal seperti kiai) dan masyarakat; bersama-sama, dengan satu tujuan Banten jaya dan modern.

Sariwangi, 20/9/08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, dan Kesempatan Kerja

Guru di Mata Murid

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan