Menjadi Guru

Kalau saja rencana kenaikan gaji guru bisa terwujud, bisa jadi gambaran guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti Umar Bakri, dalam lagu Iwan Fals berakhir sudah. Janji pemerintah minimal gaji guru untuk golongan II/B tanpa pengalaman dan tidak sertifikat Rp 2 juta.
Sementara, guru PNS golongan IV/E bersertifikat profesi mencapai Rp 6,9 juta rupiah, belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan profesi untuk guru dengan sertifikat. Pendapatan guru daerah terpencil yang bersertifikat naik menjadi Rp 5,1 juta pada 2009, yang belum menjadi Rp 3,6 juta.
Ternyata, meningkatnya gaji guru mendapat reaksi dari sejumlah kalangan. Sejumlah Dokter PTT mengeluh karena gaji mereka hanya Rp 1-2 juta perbulan. Selain dokter PTT, bisa juga diprediksikan PNS-PNS yang lain, juga akan banyak mempertanyakan, kenaikan gaji guru tersebut.
Sementara itu, karena guru bukan hanya guru PNS semata, sebagian pihak juga menuding kenaikan gaji guru PNS, bersikap diskriminatif bila guru-guru swasta yang paling terkenal ‘kekurangsejahteraannya’, tidak diperhatikan. Ini menjadi “PR’ bagi pemerintah untuk berlaku adil.
Barangkali, salah satu upaya berlaku adil, dengan memprioritaskan pengangkatan guru swasta menjadi guru PNS, sehingga guru swasta menjadi jenjang karir. Sehingga ada sebuah harapan dari guru yang selama ini statusnya masih sukarelawan, bantu sekolah, tenaga kerja sosial berubah nasibnya, karena fakta menunjukan ada guru yang menjadi guru swasta bertahun-tahun, sampai diatas masa ambang batas waktu pensiun.
Kesejahteraan
Selama negeri ini berdiri, kesejahteraan guru memang menjadi sesuatu yang muluk. Selalu dibicarakan, tapi tidak pernah terealisasi. Kesejahteraan yang kurang dituding, menjadi salah satu penyebab kualitas pendidikan di Indonesia terpuruk.
Kesejahteraan guru yang rendah, bukan hanya sangat sulit untuk meminta guru berkonsentrasi pada tugasnya. Profesi guru pun menjadi sesuatu yang tidak menarik bagi sebagian kalangan, dibanding profesi dokter, pengacara, akuntan, atau profesional lain. Fakta menunjukan, alumni SMA yang tergolong pintar, kebanyakan tidak berminat memilih jurusan kependidikan.
Saat ini, secara umum peminat jurusan Kependidikan atau sering juga disebut Keguruan, yang ada di Universitas mantan IKIP, bisa jadi meningkat, tapi coba tanya, banyak pendaftar yang memilih jurusan kependidikan, sebagai pilihan nomor urut kedua.
Padahal, sejarah menerangkan didirikannya sejumlah Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), dilatar belakangi sejarah pertumbuhan bangsa, yang menyadari upaya mendidik dan mencerdaskan bangsa merupakan bagian penting dalam mengisi kemerdekaan.
Pertama, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, bangsa Indonesia sangat haus pendidikan. Kedua, perlunya disiapkan guru yang bermutu dan bertaraf Universitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang akan merintis terwujudnya masyarakat sejahtera. (Sejarah UPI Bandung; http://www.upi.edu/Info&Sejarah).
Guru yang bermutu, bukan hanya berotak pintar, tapi idealnya dia juga mempunyai minat yang cukup besar. Minat itu tidak hanya muncul, ketika ditanya, apakah anda mau menjadi guru? Tapi, dimulai dari proses ketika mengenyam proses pendidikan.
Seorang calon dokter ketika kuliah jika mau dianding-bandingkan, tampaknya sudah menghayati betul suatu saat dia akan jadi dokter, tapi seorang mahasiswa keguruan belum tentu, malah bisa jadi cita-citanya bukan menjadi guru. Pada sebagian mahasiwa kependidikan atau waktu penulis kuliah di juruan kependidikan ada pernyataan, sarjana pendidikan tidak harus menjadi guru, yang diucapkan oleh dosen maupun mahasiswa. Adakah pernyataan, seorang mahasiswa kedokteran tidak berniat menjadi dokter?Kalau pun ada, berapa persen.
Kondisi itu, menyebabkan mata kuliah yang terkait dengan keguruan, seperti Psikologi Pendidikan, Strategi Belajar Mengajar, sering kali dimaknai asal lulus. Padahal mata kuliah itu, menjadi bekal yang harus dikuasai oleh seorang guru.
Pandangan yang menyatakan, profesi guru adalah gampangan, tampak juga terlihat dari menjamurnya pendidikan keguruan, dari mulai Sekolah Tinggi Keguruan sampai Fakultas Keguruan, hampir ada di tiap Kabupaten atau Kota. Menjadi mahasiswa jurusan kependidikan, begitu mudah, asal mempunyai izajah setingkat SMA. Sementara itu, sejumlah lulusan non-kependidikan karena beberapa faktor kemudian mengambil sertifikat Akta, agar bisa ikut seleksi menjadi guru PNS.
Setidaknya, beberapa faktor mahasiswa non kependidikan tertarik menjadi guru, kebanyakan karena ‘kecelakaan’, tidak bisa bersaing dengan mengantongi ijazah jurusannya, bisa juga karena menganggur, bosan di rumah menjadi ibu rumah tangga, atau baru menyadari bahwa menjadi guru itu menyenangkan, untuk yang terakhir ini biasanya karena secara ekonomi, mereka sudah mapan.
Sementara itu, proses seleksi menjadi guru disamakan dengan pekerjaan PNS lain, hanya mengisi sejumlah soal yang belum tentu bisa mengukur kecakapan menjadi seorang guru, seperti kecakapan mental, kecakapan untuk mengusai mata pelajaran, dan kecakapan lain yang dibutuhkan oleh seorang guru.
Tes juga seharusnya, melihat faktor lamanya seseorang menjadi guru, karena terkesan para guru swasta yang sudah bertahun-tahun mengabdi seperti diabaikan, baru beberapa tahun kebelakang saja, itu juga belum mampu menyerap sebagian besar guru swasta.

Tugas Berat
Ketika kita berharap kualitas guru meningkat, Kesejahteraan, adalah salah satunya saja, guru juga harus dipersiapkan betul, baik mental maupun kecakapan, baik sebelum atau sesudah menjadi guru.
Tak berlebihan bila sejumlah pakar pendidikan, dulu berteriak-teriak agar IKIP jangan berubah menjadi Universitas, supaya tetap fokus sebagai lembaga yang mencetak guru, nyatanya IKIP Bandung sejak 7 Oktober 1999 berubah menjadi UPI Bandung, IKIP Jakarta sudah menjadi UNJ, dan IKIP-IKIP yang lain juga sama, dengan gagahnya menjadi Universitas.
Bukan hanya itu, ketika PTN yang membuka jurusan Kependidikan semakin mahal saja biaya kuliahnya, terutama semenjak berubah menjadi BHMN, sementara sejumlah Perguruan Tinggi Swasta semakin gencar dan berlomba-lomba menampung mahasiswa atau membuka jurusan keguruan, seakan-akan siapapun bisa masuk, terkesan tanpa proses seleksi yang penting bisa membayar uang kuliah, akankah dengan begitu tercipta guru-guru yang semakin berkualitas?
Kesejahteraan harus diikuti dengan variable-variable lain yang terkait dengan kualitas guru. Tanpa itu semua, mustahil terwujud, dan guru pun hanya akan menjadi cibiran masyarakat saja, padahal tantangan untuk semakin meningkatkan kemampuan dan kemampuan dalam mengajar semakin kompleks.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, dan Kesempatan Kerja

Guru di Mata Murid

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan