Sekolah Kami Kembali Roboh

Lagi-lagi sekolah roboh, beberapa waktu lalu terjadi pada Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Harapan Karya, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang. Sebelumnya, empat ruang kelas milik SDN Bendungan, Desa Pudar, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang roboh (31/7), kalau harus didaftar, maka berderet-deretlah kasus robohnya sekolah di Banten.
Menanggapi robohnya SDN 3 Harapan Karya, Ketua DPRD Pandeglang, HM Acang, menuduh robohnya sekolah, akibat adanya ketidakberesan, atau kecurangan dalam penentuan skala prioritas pembangunan gedung sekolah (Radar Banten/24/11/10).
Terkait ketidakberesan dalam menentukan skala prioritas pembangunan sekolah, masih dari berita Radar Banten (24/11/10), Enjat Sudirjat anggota DPRD Pandeglang, mengaku mempunyai pengalaman, ketika mengajukan rehab SD yang sangat rusak, namun yang dibangun SD yang kondisinya masih baik, menurut informasi yang didapat oleh Enjat, karena kurangnya pendekatan materi pada pejabat dinas pendidikan.
Kalau benar, Ironis memang, bila institusi pendidikan sudah dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak beres, tentu saja kita tidak bisa berharap persoalan pendidikan yang sudah seperti benang kusut, dapat terselesaikan.
Benang kusut karena begitu kompleksitasnya persoalan pendidikan di Indonesia , dari mulai ujian nasional yang dipersoalkan, kurikulum yang diprotes sana-sini sampai mutu pendidikan yang terus tertinggal, setidaknya dengan Negara tetangga Malaysia . Padahal, dalam teori pendidikan dikenal, dipikirkan sebaik-baiknya pun masih saja ada kekeliruan, apalagi dimulai dari sebuah kekeliruan-kekeliruan.
Seperti biasa, setelah sekolah roboh, berbagai pihak pun meminta pada pemerintah, secepatnya untuk membangun kembali sekolah yang roboh tersebut, untuk solusi cepat mungkin tepat. Kedepan, perlu juga dipikirkan bagaimana melibatkan masyarakat dan keluarga, dua instusi yang juga bertanggungjawab, dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sayang, tanggungjawab masyarakat dan keluarga dalam menyelenggarakan sarana dan prasarana saat ini, sepertinya terlucuti. Tanggungjawab keluarga terhadap penyelenggaraan pendidikan, sepertinya sebatas iuran penyelenggaraan pendidikan, itu juga seringkali diributkan karena dianggap tidak transparan dan memberatkan, memang ada musyawarah orangtua, tapi banyak yang menuding itu hanya ‘akal-akalan’ saja.
Hubungan antara keluarga dan sekolah pun bersifat ‘materalistis’, ada uang, anak-anak bisa mengikuti pelajaran, tidak ada terpaksa harus menghadapi beberapa persoalan.
Cerita tentang, orangtua yang mengunjungi rumah guru, membicarakan anak-anaknya di sekolah, hampir terkikis, guru mengunjungi rumah orangtua murid untuk bersilaturahmi, hampir menjadi cerita masa lalu. Orangtua dipanggil oleh sekolah pun terkesan, ketika ada persoalan dari mulai anaknya masuk kategori nakal, atau menunggak iuran.
Sementara itu, masyarakat sepertinya kian tidak merasa memiliki sekolah. Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah Itu Candu, dengan judul Robohnya Sekolah Kami, menceritakan bagaiamana sebuah sekolah roboh. Persis seperti dalam buku yang diterbitkan oleh Insist Press (2001) itu, yang terjadi di sebagian sekolah-sekolah yang ada di Banten.
Saya teringat ketika kanak-kanak dulu, sekitar tahun 1990-an di Kampung saya di pelosok Pandeglang-Banten, pada saat kenaikan kelas masyarakat bergotong-royong membuat panggung untuk acara kenaikan kelas, masyarakat juga entah tiap bulan, tiga bulan atau tiap dipandang perlu, melakukan gotong-royong memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada di sekolah, dari mulai mengecat, sampai memperbaiki bangunan. Kondisi sekolah tak luput dari perhatian masyarakat.
Saya masih ingat, pada hari jumat pada masa itu, sekolah diliburkan, anak-anak sekolah bergabung dengan orangtua, tua-muda, anak-remaja, laki-perempuan terjun ke sungai untuk mengambil pasir dan batu, untuk pembangunan sekolah. Semuanya tak dibayar, kecuali makan siang, itu juga sebagian besar dananya, hasil iuran masyarakat.
Selain peduli terhadap pembangunan, masyarakat juga merasa bangga bila sekolah yang ada di Kampung mereka, menang kejuaraan, seolah-olah bukan sekolah itu saja yang juara, tapi seisi kampung.
Jaman terus berlalu, sistem gotong-royong itu sepertinya perlahan tergerus, masyarakat pun, jarang yang mengetahui kondisi sekolah sebenarnya, atau mungkin tahu tapi merasa tidak perlu tahu. Bila bertanya ini salah siapa?
Bertahun-tahun kondisinya seperti diciptakan, sekolah terkesan dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Anak-anak didik belajar di sekolah, masyarakat sibuk dengan aktivitasnya, seperti tidak ada kaitannya antara sekolah dengan masyarakat. Pemerintah memang berusaha untuk melibatkan masyarakat salah satunya, beberapa tahun yang lalu, mengeluarkan sistem sekolah berbasis masyarakat, tapi belum kelihatan hasilnya di lapangan.
Persolan utama, sepertinya karena orang tua siswa dan masyarakat setempat sering kali tidak dilihat sebagai aset yang berharga dalam peningkatan mutu pendidikan. Orangtua dan masyarakat, serta pengusaha setempat, tentu mempunyai kemampuan masing-masing untuk membantu sekolah. Bisa melalui tenaga, pemikiran sampai dana bila mampu.
Potensi masyarakat sepertinya dilihat oleh UNICEF dalam pembangunan gedung-gedung sekolah yang hancur akibat tsunami di Aceh, Unicef mempromosikan partisipasi masyarakat setempat dalam keseluruhan proses, dari pemilihan lokasi dan rancangan sekolah, sampai pada rencana jangka panjang agar masyarakat mengelola dan menjaga sekolah dengan baik.
Pemerintah, seharusnya bisa menciptakan sistem atau mendorong sekolah untuk lebih terbuka, dan transparan lagi pada orangtua atau masyarakat, bukan hanya sekedar mengundang orangtua atau masyarakat dalam memutuskan biaya pendidikan, tapi juga bagaimana mengajak masyarakat, bersama-sama mengelola dan memiliki sekolah.
Penutup
Semuanya, bisa berjalan bila didukung oleh niat dan konsep yang baik dari pemerintah, untuk membangun sarana pendidikan, dari mulai membereskan aparat-aparatnya yang tidak bermental kurang beres, diantaranya menganggap proyek pembangunan sebagai jalan mencari keuntungan, sampai sejauh mana pemerintah mengalokasikan APBD untuk pendidikan, contoh baik diperlihatkan oleh Pemerintah Kota Tangerang, dalam membangun sarana fisik sekolah.
Serang, 24/10/11


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, dan Kesempatan Kerja

Guru di Mata Murid

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan