Mental Pengemis

Hampir setiap sore menjelang buka puasa, pada Ramadhan yang baru saja lewat, ketika nongkrong di depan warnet yang ada di Ciceri-Serang, saya sering didatangi rombongan anak-anak bisa perempuan bisa laki-laki, dengan usia antara 5-12 tahunan, satu rombongan bisa 5-10 orang, lalu dengan tangan menengadah, “Sedekahnya, Pak,” kata mereka, dengan wajah memelas.
Saya lihat; Pakaiannya tidak lusuh, tapi terkesan dilusuh-lusuhkan, wajahnya tidak kotor, tapi terkesan dikotor-kotorkan, segar bugar wal’afiat. Hati bimbang, tidak memberi takut kualat, memberi ragu pantaskah mereka diberi?
Saya teringat pada pengemis, yang biasanya kumpul di pasar lama, sekitar pukul 20.00. Sebelum pulang ke tempat asalnya, sebagian ada yang duduk sambil merokok, sebagian makan nasi bungkus, sebagian lagi berjalan membeli oleh-oleh, dalam plastik hitam beberapa saya lihat; Supermi, Ikan kaleng, beras, roti, sampai es krim. Kemudian, setelah semua kumpul dengan angkutan kota, mereka pulang bersama-sama, ke tempat asalnya.
Kalau sudah terbeli, produk-produk seperti itu, pantaskah mereka besok kembali datang mengemis? Lalu sampai kapan mereka menjadi pengemis?Jangan-jangan pengemis sudah menjadi ‘profesi’ ada hari libur dan jam kerja, pelatihan menjadi pengemis, dan syarat kelulusan untuk menjadi pengemis?
Saya teringat Si Udin, tetangga saya di kampung, dari mengemis dia bisa membeli tv, vcd, memperbaiki rumah, sampai membeli sawah. Sebelumnya, Si Udin kerja di Jakarta, jatuh sakit, pulang ke kampung. Sambil berobat jalan, makan susah penghasilan tidak ada, Bapaknya, yang bekerja sebagai pedagang keliling, jajanan anak-anak sekolah dasar terkesan tidak mampu membiayai Si Udin, Si Udin pun disarankan tetangganya, untuk menjadi pengemis, tetangga Si Udin yang juga tetangga saya itu, mengatakan pada saya dia tidak tega melihat Si Udin kesulitan mencari uang untuk berobat, dari mengemis Si Udin mampu berobat, dan setelah sembuh, Si Udin ternyata tetap mengemis, dan biasanya hari Jumat dia libur.
Setelah Si Udin ‘sukses’, orangtuanya jadi malas-malasan, tidak mau lagi kerja, atau setidaknya menjadi malas berdagang. Menurut cerita penghasilan anaknya yang menjadi pengemis, juga sudah cukup untuk kebutuhan keluarga mereka.
Teman saya yang bertugas mengantarkan Si Udin dari pasar ke pasar, bercerita, Si Udin terlihat seperti orang cacat luka di kaki dan tangan, terlihat rapuh, seperti memaksakan diri hanya sekedar berjalan, padahal ketika sampai di rumah, kaki dan tangan dibasuh oleh air, luka itu pun menghilang.
“Sambil menunggu Udin di pasar, biasanya saya minum kopi, sambil merokok di warung nasi, nanti yang bayar Udin,” kata teman saya. Sambil mengatakan, ongkos ojek dari Si Udin lebih besar, dibanding ongkos sewa ojek penumpang lain.
Mungkin, tidak semua pengemis begitu, mungkin masih banyak pengemis dengan tubuh renta, terbungkuk-bungkuk, badan tidak kuat lagi bekerja, sementara sanak saudara sudah tidak bisa diandalkan, mereka terpaksa mengemis, mengumpulkan uang ribuan -Orang sekarang kan, jarang memberi recehan pada pengemis- tapi, bagaimana kita bisa membedakan pengemis asli dan palsu.
Cerita rakyat tentang asal usul Situ Bagendit yang terletak di Kecamatan Banyuresmi-Garut-Jawa Barat, mengisahkan Nyi Bagendit orang kaya raya yang pedit dan kikir didatangi pengemis, namun janda kaya itu, tidak mau menyedakahkan hartanya, ternyata pengemis itu hanya pura-pura jadi pengemis, dia hendak menghukum Nyi Bagendit karena kekikirannya, padahal tetangga Nyi Bagendit banyak yang kelaparan. Orang sakti yang berpura-pura mengemis itu menancapkan tongkatnya, ketika dicabut, muncratlah air dari tanah, dan merendam satu kampung, termasuk kekayaan Nyi Bagendit. Jadilah Situ Bagendit.
Bukan hanya sasakala Situ Bagendit, saya juga mendapatkan banyak cerita lain, bagaimana kualat terjadi karena mengabaikan peminta-minta. Saya sering merinding, ketika harus mengatakan, “rampes” ketika ada yang mengucapkan “sampurasun” -sekarang, biasanya pengemis mengucapkan Asalamuallaikum- sampai sekarang, takut kualat masih ada dalam hati.
Agama Islam pun mengajarkan, kewajiban seorang muslim memberi pada kaum papa, termasuk anak yatim dan orang miskin, karena ada harta mereka dalam harta kita. Tapi, Islam juga sangat melarang umatnya mengemis, tangan diatas lebih baik, dari tangan dibawah. Islam sangat menganjurkan kerja keras.
Ibu-ibu di komplek perumahan saya, banyak yang berbicara pengemis yang datang ke perumahan, termasuk yang ada dipersimpangan jalan, semakin menunjukan peningkatan saja dari waktu ke waktu, walaupun belum ada angka statistik yang membenarkannya, tapi mata bisa melihatnya.
Seperti ditulis Win Dede dalam blog spotnya, (Windede.blogspot.com) mengemis bukan lagi melulu dilatari cerita tentang kemalangan hidup. Lebih sering, bahkan bermula dari keputusasaan dalam mencari kerja, atau malah kemalasan yang berjodoh dengan terkikisnya rasa malu.
Dalam teori pendidikan, bila sejak kecil anak-anak ditempa kerja keras, maka dia akan tumbuh menjadi pekerja keras, bila diajari malas-malasan dia akan menjadi orang malas, maka akan menjadi apa, bila sejak kecil malah bayi dalam gendongan sudah berkeliling, atau duduk dipinggir jalan, supaya orang kasihan.
Pemerintah harus bertindak, bila perlu mengambil anak-anak yang menjadi pengemis tersebut, memberi sanksi orangtuanya, kalau orangtuanya benar-benar tidak mampu, pemerintah bisa mengambilnya untuk didik, supaya mental pengemis, tidak menjadi-jadi dalam jiwa mereka. Sayang anak-anak terlantar dan tidak mampu dipelihara Negara realitasnya hanya baru ada dalam mukadimah konstitusi.
Lembaga pendidikan seperti sekolah, harus bisa mengajarkan pada anak-anak, bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah. Bukan hanya anak-anak, penting juga melakukan pembinaan pada pengemis-pengemis tua, lebih-lebih bila mereka sebenarnya masih mampu, untuk bekerja selain mengemis.
Jangan lupa, penting juga membatasi ruang, bagi pengemis berdasi, bisa orang yang mengaku-ngaku dari ormas atau organisasi tertentu, mengedarkan proposal meminta bantuan, setelah cair bukan untuk mengembangkan organisasi, malah masuk kantong pribadi.
Bisa juga, peminta-peminta itu berasal dari anggota DPRD, Polisi, Jaksa, Hakim, Pejabat, Wartawan dan mungkin saja Bupati, Walikota dan Gubernur, yang mengemis dengan anggapan jatah, padahal tidak ada dasar hukumnya alias bukan haknya, perilaku seperti itu bisa menjadi contoh, bagaimana menjadi pengemis dengan kemampuannya, ironisnya mereka seperti bangga menjadi pengemis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, dan Kesempatan Kerja

Guru di Mata Murid

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan