Menyemai Bibit Spritualitas Dalam Kepemimpinan

Sejumlah calon Kepala Daerah di Kabupaten Tangerang sepertinya sudah ‘menghambur-hamburkan’ dana untuk menggolkan keinginannya menjadi pemimpin, dari mulai memberikan bantuan untuk menarik simpati masyarakat, dana untuk mendapatkan ‘perahu’ dari partai politik, sampai pasang spanduk, baligo, iklan di media massa.
Setelah Tangerang, masih menunggu Kabupaten Lebak, Kota Serang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang, dan sudah bisa dipastikan uang pun berhamburan, apapun alasannya, sebuah realitas untuk menjadi pemimpin kepala daerah, akan jadi apakah kualitas pemimpin seperti itu?Bila uang yang lebih berbicara, ini jelas harus harus dihentikan, sebelum semuanya menjadi kebablasan, dan tanpa kendali.
Coba dihitung-dihitung, tentu tak kurang dari puluhan miliar dikelurkan oleh salah seorang calon. Berapa banyaknya uang satu miliar tersebut?Saya sendiri belum pernah memegang, sekedar memegang uang sebanyak itu pun. Lalu, yang menjadi persoalan begitu besar pengeluaran mereka hanya untuk menjadi pemimpin, apa sebenarnya makna kepemimpinan itu sendiri?
Kita mungkin masih percaya, masyarakat Banten adalah masyarakat yang religius, dan sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Islam. Bertebaran pesantren hampir di sudut kampung, jungkir balik sholat tiap waktu, mayoritas masyarakatnya menjalankan puasa Ramadhan, Zakat dan sedekah dikeluarkan, tapi, nilai-nilai spritualitas itu sepertinya mandul, ketika dihadapkan pada pilihan untuk memilih pemimpin.
Dalam ayat-ayat suci sudah jelas diperingatkan, orang yang menyuap dan menerima suap, semuanya masuk neraka, namun pada saat kampanye kita terlalu sering mendengar bagaimana pasangan calon melakukan serangan fajar, bagaimana pula dengan bantuan-bantuan yang diberikan pada pondok-pondok pesantren, para calon memberikan sejumlah bantuan pada kiai, dengan maksud yang sudah jelas, dan para kiai pun dengan tersenyum, pertanyaannya kemudian apakah itu bukan suap?
Menjadi pemimpin tentu saja bukan hadiah, jangankan untuk menjadi Bupati atau Wakil Bupati, untuk menjadi Kepala Desa saja, harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah. Tapi, mampukah kita menciptakan mekanisme yang lebih baik dari itu.
“Tetangga saya di Tangerang, ada yang sampai mengelurkan uang Rp 2 miliar, untuk pencalonannya menjadi Kepala Desa, namun gagal, dia pun seperti orang stres,” kata salah seorang Anggota DPRD Banten, beberapa waktu lalu, pada saya.
Berharap menjadi pemimpin, pada dasarnya sudah menjadi kodrat manusia, karena ketika diciptakan Tuhan, manusia sebenarnya sudah menjadi pemimpin, setidaknya menjadi pemimpin bagi dirinya.
Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda.”Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu akan ditanya mengenai kepemimpinanmu. Imam (Penguasa) adalah pemimpin dan akan ditanya mengenai kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan bertanggung jawab mengenai kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Pelayan (buruh) adalah pemelihara harta majikannya dan akan ditanya mengenai pemeliharaannya. Maka kamu sekalian adalah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya.”
Tapi, sayang manusia juga harus berlawanan dengan egonya, dan melupakan sekitarnya untuk mencapai tujuan. Pertarungan pun terjadi, antar kelompok kepentingan untuk mencapai kepentingan individu, golongan dan dirinya mengalahkan hati nurani manusia sendiri.
Hasilnya pemimpin yang membayangkan proyek, bagi-bagi kekuasaan, dan kenyataan itu diamini masyarakat yang berpikiran instan, yang penting calon membagi-bagikan bantuan, maka masyarakat menganggap itu adalah calon yang layak dipilih, atau mereka juga sudah tahu, bahwa calon pemimpin akan lupa setelah mereka menjadi pemimpin, sayang apa yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat dengan meminggirkan hati nurani, harus dibalas selama lima tahun ke depan.
Pemimpin yang sebenarnya sebuah kedudukan untuk bisa melayani sesama, agar hidup menjadi lebih bermakna, terpelanting seratus delapan puluh derajat, sebagai ajang kekuasaan mengembalikan modal, mengumpulkan harta, kekayaan, dan ‘kehormatan’. Jadilah, pemimpin yang bangga diagung-agungkan, padahal tidak ada kebaikan yang berarti bagi masyarakatnya.
Padahal, hadis yang diriwayatkan dari Abu Naim menyerukan sabda Nabi Muhamad SAW, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka,”.
Kepemimpinan yang melayani sebenarnya sudah ada dalam diri calon pemimpin, karena tentu kita percaya calon pemimpin adalah orang-orang yang mempunyai nilai-nilai spritualitas dalam diri, tinggal bagaimana membangkitkan kembali benih-benih yang sudah ada.
Bila saja, benih-benih nilai spritualitas terus dihidupkan, dan kita masih percaya pada ajaran-ajaran agama yang bukan hanya memerintahkan untuk sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah habluminallah lain, tapi juga termasuk memilih dan menjadi pemimpin.
Memilih pemimpin harus berasal dari orang yang terbaik dari suatu kaum, dan menjadi pemimpin adalah kodrat manusia, dan menjadi pemimpin sebagai bagian dari mendekatkan diri pada Tuhan, segala amal perbuatan pasti ada pertanggungjawabannya, bisa jadi tidak ada lagi calon pemimpin yang terpilih karena semata-mata banyaknya uang.
Tidak ada lagi, Gubernur dan Bupati yang marah-marah bila ada warganya kelaparan, tapi, mereka akan segera berbuat untuk meringankan beban warganya, mungkin tidak seheroik Umar Bin Khatab.
Bisa jadi tidak ada akan berderet-deret pemimpin atau mantan pemimpin yang harus antri, untuk menjalani pemeriksaan karena tersangkut kasus korupsi. Seandainya, pemimpin menyadari kekuasaan adalah amanah yang menyaratkan kerelaan, sebagai fitrah manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sepertinya, itu menjadi tanggungjawab bersama, bagaimana benih-benih spritualitas dalam kepemimpinan yang sebenarnya sudah ada dalam hati, dibangkitkan kembali, sebelum mati kemudian.
Serang, 08/10

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, dan Kesempatan Kerja

Guru di Mata Murid

Dipenjara 14 Tahun Tanpa Proses Pengadilan